Tao dan Konfusianisme
Sumber segala informasi mengenai agama Tao dan Konfusianis
Selasa, 29 Mei 2012
Senin, 28 Mei 2012
organisasi masyarakat Tionghoa di Indonesia
Organisasi Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina[3]) di Indonesia adalah salah satu etnis
di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya
dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang
(Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi:
唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai
dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina
selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina
utara menyebut diri mereka sebagai orang Han
(Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang
Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi
secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan.
Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik
Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan
bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah
berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina.
Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang
maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang
Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku
dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.[4]
Asal kata
Kata Tionghwa
telah digunakan dalam surat setia kepada tentara Nippon ini.
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang
dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua
dalam Bahasa Mandarin.
Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai
sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk
terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih
demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang
bermukim di Hindia Belanda
yang ketika itu dinamakan Orang Cina.
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya
lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya.
Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia
Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan",
yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK).
THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan
Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia
Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.
Populasi di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi
Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada
tahun 1930.[5] Tidak ada data resmi mengenai
jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia
merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah
memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000
(2,5%) pada tahun 1961.[6]
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika
untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka,
hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.
Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini
ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[7]
Daerah asal di Cina
Ramainya interaksi perdagangan di daerah
pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa
perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia
Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap
tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang
disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk
menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina
untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya
berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku:
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir
tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir
tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar
pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.[rujukan?]
Daerah konsentrasi
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di
Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain
di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan
adalah: Sumatera Utara,
Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
- Hakka - Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura.
- Hainan - Pekanbaru, Batam, dan Manado.
- Hokkien - Sumatera Utara, Riau ( Pekanbaru, Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon.
- Kantonis - Jakarta, Medan , Makassar dan Manado.
- Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
- Tiochiu - Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah
menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan,
sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih
gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada
disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara
bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan Melayu.
Sejarah
Masa-masa awal
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun
mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para
agamawan, seperti Fa Hien
pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu
kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India
untuk mempelajari agama Buddha dan
singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa
ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di
Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk
kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti
dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping
nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur
disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus
orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh
dari motif-motif kain sutera Tiongkok.[8]
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi
Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa
pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu
dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[9] Ekspedisi Cheng Ho juga
meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang
Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan
(sekarang bagian dari Kota Semarang).
Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia
dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang
mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan
Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po
Kong atau Gedung Batu.[10] Di komplek ini Wang juga
dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[11]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok
selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga
memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara
aktif mempraktekkan kultur Tionghoa.
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang
menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga)
pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya
adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Ilustrasi
pedagang Tionghoa di Banten
Era kolonial
Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat
beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan
setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa.
Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum,
misalnya So Beng Kong dan
Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[rujukan?].
Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[12]
Pembantaian orang
Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang
pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain.
Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC
tahun 1740-1743.[rujukan?]
Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam
"Republik" Lanfong[rujukan?]
berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan,
beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan,
seperti pembantaian di Batavia 1740
dan pembantaian masa perang Jawa
1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [13][14][4] melahirkan gerakan perlawanan
dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu
pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi
diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman
etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah
kota besar di Hindia Belanda.
Daerah Pecinan
di Banjarmasin.
Kelenteng Tua
Pek Kong di Ketapang.
Pendidikan
Kebangkitan
nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang
terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900
terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan
(THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan
didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama
Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek
Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya
mencapai 54 buah sekolah dan pada tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun
1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang
mendirikan Djamiat-ul
Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi
Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Perekonomian
Target pemerintah kolonial untuk mencegah
interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan
Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang
Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri,
orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha
makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan,
batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909
di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang
Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang
Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906
di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas
dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota
Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian
membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pergerakan
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena
Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Cina, Januari 1912.
Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya
mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif
terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan,
hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat
tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha
memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program
tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan
pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan
petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan
rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang
etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan
adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari
kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee
Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga
sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat
nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata
Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander
di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain.
Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina"
dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai
Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang
ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat
Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian
penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah
"disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945.
Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4
orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian,
Tan
Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe,
Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status
sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali
dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang
dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan.
Salah seorang yang dikenali ialah Tony
Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Pasca kemerdekaan
Selama beberapa
dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi sempat dilarang
atau "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun bahkan
kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Wahid Hasyim menggunakannya
pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.
Orde Lama
Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia
dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat
pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir.
Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat
baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang
diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA
Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan
kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan
pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun
1965 dan lainnya.
Orde Baru
Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan
tentang Surat
Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer
disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI)
etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat
administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan
WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak
tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia
dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan
hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian
hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia
terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama
sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis
dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya
Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa
Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan
menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin
yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis
dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia
dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga
di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga
Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme
di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik
praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir
akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat
peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat
Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan
jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan
seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)